NTT BICARA.COM, LARANTUKA – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Flores Timur kembali menggelar Forum Jaring Aspirasi Guru. Forum ini mengungkap sepuluh persoalan serius yang tengah dihadapi para pendidik di seluruh wilayah Flores Timur. Forum ini menjadi ruang terbuka bagi guru-guru untuk menyampaikan kendala nyata yang mereka hadapi dalam menjalankan tugas dan pengabdian di lapangan.
Dari hasil penjaringan aspirasi tersebut, tergambar potret riil tentang kesenjangan kebijakan, keterlambatan pembayaran hak, hingga lemahnya transparansi birokrasi yang selama ini membayangi kehidupan para guru.
Sepuluh problem tersebut, yakni Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang diduga ada ketimpangan dan minimnya transparansi. Banyak guru di Kabupaten Flores Timur mengeluhkan jumlah Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang diterima. Mereka menilai tidak ada sosialisasi atau penjelasan terbuka mengenai dasar perhitungan besaran TPP yang mereka terima. Informasi yang semestinya menjadi hak publik ini seolah tertutup.
“Saya ini guru tua. Masa kerja saya sudah 20 tahun lebih. Tapi kenapa ada perbedaan yang begitu drastis? Kalau karena kami Kategori dua (K2), apakah kami bukan guru? Kami sudah lama mengabdi. Miris sekali perlakuan terhadap kami, bahkan bayar capek-lelah kami macam bagi permen ni. Mohon PGRI jangan tutup mata karena banyak teman mengalami seperti saya,”suara lantang seorang guru pada forum tersebut.
“Saya sudah tanya ke bendahara, katanya karena pengadministrasi umum kami bukan dari guru (K II), jadi pembayaran kami sangat kurang. Jika dihitung dari bulan Januari dengan rincian per bulan Rp 950.374, seharusnya saya menerima Rp 5.704.374, tetapi hanya Rp 4.700.000. Ada selisih yang belum jelas,”tambah guru lainnya.

Minimnya transparansi perhitungan dan keterlambatan pembayaran ini menimbulkan keresahan di kalangan guru yang selama ini telah mengabdi puluhan tahun.
Masalah lain yang mengemuka adalah rapelan guru yang belum dibayar sejak tahun 2019. Setelah PGRI Kabupaten Flores Timur melakukan tekanan pada awal tahun 2025, Dinas PKO memang sempat mengarahkan guru-guru penerima untuk mengumpulkan berkas, namun hingga Oktober 2025 belum ada tanda-tanda pencairan.
Tidak ada penjelasan resmi dari pihak berwenang mengenai alasan keterlambatan atau rencana pembayaran. Akibatnya, banyak guru kehilangan kepercayaan terhadap sistem administrasi daerah.
Kenaikan pangkat guru di Flores Timur juga menjadi masalah klasik yang tak kunjung
selesai. Guru-guru menilai pengurusan kenaikan pangkat di daerah ini paling lambat dibanding kabupaten lain di NTT, dengan alasan yang berulang: “tidak ada kuota”.
“Kami sudah ikut Uji Kompetensi (Ukom) dan lulus, tapi hingga kini belum naik pangkat. Alasannya selalu regulasi baru atau belum ada kuota,” ujar salah seorang guru.
“Sudah ikut Ukom dua tahun lalu, sertifikat sudah keluar, tapi tidak bisa naik pangkat karena katanya belum ada kebutuhan. Kami mengikuti prosedur, tapi hasilnya tetap tertahan,”kata guru lainnya.
Banyak guru akhirnya terhenti di jenjang III B ke III C serta III D ke IV A. Ketertundaan ini menimbulkan kekecewaan mendalam, mematahkan semangat, dan menghambat karier mereka.
Kasus kekurangan pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) juga muncul dari SDI Kenotan. Dua guru, yakni Lusia Bulu Masan dan Lusia Ina Weran, menerima jumlah pembayaran yang tidak sesuai dengan perhitungan yang seharusnya.
Rinciannya menunjukkan; Lusia Bulu Masan Gaji pokok Rp 3.340.000 x 3 = Rp 10.020.900. Setelah dikurangi pajak 5% (Rp 501.045), seharusnya menerima Rp 9.519.855. Namun yang ditransfer hanya Rp 7.662.225. Ada selisih Rp 1.857.630.
Lusia Ina Weran, gaji pokok Rp 3.238.300 x 3 = Rp9.714.900. Setelah dikurangi pajak 5% ( Rp485.745), seharusnya menerima Rp 9.229.155. Namun yang ditransfer Rp 7.662.225. Ada selisih Rp 1.566.930. Selisih yang cukup besar ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai akurasi dan akuntabilitas pembayaran tunjangan profesi.
Beberapa guru PPPK angkatan 2022 mengaku belum menerima tunjangan non-sertifikasi hingga kini.“Saya wali kelas dengan beban 24 jam, tapi belum menerima non-sertifikasi. Teman-teman sudah, tapi saya belum,” kata seorang guru.
“Bendahara bilang uang belum dikirim dari pusat. Nilai tunjangan kami Rp 3 juta, belum dipotong pajak 5%. Tapi sudah hampir setahun belum dibayar,”tambahnya. |
Tertundanya pembayaran ini memperlihatkan lemahnya sistem verifikasi data dan koordinasi lintas instansi.
Guru-guru honor di sekolah swasta juga menyuarakan kegelisahan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti seleksi PPPK, sementara penempatan guru ASN/PPPK di sekolah kecil justru mengancam jam mengajar mereka.
“Sekolah kami kecil dengan jumlah rombongan belajar terbatas. Jika menerima guru PPPK, maka guru honor tidak lagi punya jam mengajar dan bisa kehilangan sertifikasi,” ungkap seorang kepala sekolah swasta.
“Kami sudah sertifikasi, tapi jika jam berkurang, tunjangan ikut hilang. Ini dilema yang belum ada solusinya,”kata seorang guru.
Dalam Surat Keputusan, tunjangan jabatan kepala sekolah tercatat sebesar Rp 435.000 per bulan. Namun realisasi di lapangan hanya Rp 125.000. Selisih ini menimbulkan tanda tanya mengenai validitas dan kejujuran sistem pembayaran tunjangan jabatan kepala sekolah.
Banyak sekolah masih dipimpin oleh Pelaksana Tugas (PLT) kepala sekolah selama lebih dari satu tahun.
Seorang PLT Kepala SDI Tanahedang menuturkan: “Saya menjabat sejak 15 September 2024, tapi SK Kadis baru dikeluarkan 1 Oktober 2024. Saya belum menerima tunjangan kepala sekolah”.
Tolong segera ada kepala sekolah definitif, karena saya guru honor,” tutur salah seorang Plt Kepsek.
Guru-guru swasta mendesak agar diberi kesempatan mengikuti seleksi PPPK. “Kami guru swasta selama ini tidak pernah diakomodasi. Padahal kami juga sudah mengabdi bertahun-tahun,” ujar seorang guru.
Mereka berharap ke depan ada mekanisme afirmatif agar guru swasta yang telah lama berbakti dapat diangkat sebagai ASN atau PPPK.

PGRI Flores Timur mencatat 33 sekolah tidak dapat melaksanakan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di sekolah masing-masing akibat keterbatasan jaringan internet dan fasilitas.
Beberapa contoh; SD Inpres Pantai Oa harus menumpang di Desa Hewa karena internet di sekolah sangat lambat.
SD Negeri Demondei 3 dan 4 tahun lalu menumpang di SMPN 2 Adonara Barat. SDK Lamawohong bahkan terpaksa melaksanakan ANBK di Tempat Pemakaman Umum (TPU) karena jaringan di sekolah nyaris tidak ada. Kondisi ini memperlihatkan kesenjangan digital yang masih menghambat pemerataan mutu pendidikan di Flores Timur.
Sekretaris Bidang Pengembangan Profesi dan Karir Guru PGRI Flores Timur, Asy’ari Hidayah Hanafi, menegaskan pentingnya keberanian guru dalam menyuarakan kendala.
“Guru mesti kritis dan berani berbicara untuk menyampaikan kendala yang dialami. Jika tidak disampaikan, masalah akan tetap berulang,” ujarnya.
“Sepuluh problem yang kita bahas di Forum Aspirasi Guru kemarin adalah fakta lapangan. Saat PGRI bersuara, sebenarnya kami membantu Dinas PKO Flores Timur mendapatkan data riil,”katanya.
Asy’ari menambahkan bahwa PGRI hadir bukan sekadar wadah administrasi, tetapi rumah besar perjuangan guru.“Kami mendorong dialog terbuka dan solutif antara pemerintah daerah dan guru, agar setiap persoalan dapat diselesaikan dengan semangat profesionalisme dan transparansi,” katanya.
Ketua PGRI Kabupaten Flores Timur, Maksimus Masan Kian, S.Pd, menyampaikan bahwa permasalahan-permasalahan tersebut bukanlah hal baru.
“Semua ini sudah berulang kali kami sampaikan dalam audiensi dengan Dinas PKO, DPRD, dan Pemerintah Daerah. Tapi solusi cepat belum nampak, bahkan informasi balik kepada guru sebagai subjek pelayanan juga tidak pernah disampaikan,” tegasnya.
Pengurus PGRI Kabupaten Flotim memberikan saran sekaligus pikiran solutif diantaranya, perlu adanya Keterbukaan Informasi Guru. Dinas PKO Flores Timur kiranya mengefektifkan portal transparansi untuk pembayaran TPP, tunjangan sertifikasi, rapelan, non-sertifikasi dan lain-lain.
Berikutnya, perlu adanya Kalender Layanan Guru, Menetapkan jadwal tahunan layanan kenaikan pangkat, tunjangan, rapelan dan lain-lain secara terbuka. Tatap muka untuk membicarakan persoalan guru di Kabupaten Flores Timur tidak harus mengharapkan agenda disiapkan oleh PGRI Kabupaten Flores Timur, tetapi mesti ruang tersebut diinisisi atau dibuka oleh Dinas PKO dengan mengundang pihak pihak terkait untuk membicarakan kendala -kendala yang dialami guru di lapangan. Bisa membentuk forum bersama untuk membahas isu guru setiap triwulan.
“Kami tidak diam. Kami bersuara agar sistem pendidikan di Flores Timur menjadi lebih baik dengan ukuran yang sederhana yakni kepuasaan pelayanan yang dirasakan oleh bapak, ibu guru,” tutup Maksi.(gem)