NTT BICARA.COM, KUPANG – Undang-undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang tugas, funmgsi dan kekedudukan guru dan dosen sebagai profesi yang bermartabat, bertujuan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, UU ini menegaskan, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing dan mengevaluasi peserta didik.
Tugas ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian hasil belajar serta membimbing peserta didik, termasuk tugas tambahan. Guru juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter, moral, dan membina hubungan baik dengan masyarakat.
Khusus tugas membentuk karakter dan moral, sering terjadi benturan jika guru sebagai manusia tidak dapat mengendalikan emosi saat menghadapi peserta didik nakal dan akhirnya memberikan hukuman fisik, seperti mencubit, menampar atau hukuman berlutut, dan lain-lain.
Dulu di ujung rotan ada emas, artinya peserta didik yang mendapat hukuman fisik bisa menjadi baik dan sukses di hari hidupnya. Seiring perjalanan waktu dengan aneka kemajuan, di ujung rotan ada hukum. Dulu guru menghukum peserta didik itu lumrah, sekarang jika guru menghukum peserta didik bisa di seret ke meja hukum, seperti dialami Kepala SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria.
Kepsek ini berniat baik mendidik peserta didik yang kedapatan merokok tapi berbohong dengan sebuah tamparan. Niat hati memberikan emas, kenyataannya, siswa tersebut tidak menerima dan melaporkan ke orang tua yang membawakannya ke ranah hukum. Bahkan, siswa ini bisa memmengaruhi 630 siswa lain untuk mogok sekolah.

Kasus hukum yang mencuat ini mendapat pro dan kontra. Di platform media sosial, banyak yang mendukung Kepsek Fitria dibandingkan yang pro.
Dukungan terhadap Kepala SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria, terus meluas di berbagai platform media sosial. Gelombang dukungan muncul setelah Dini Fitria dinonaktifkan dari jabatannya oleh Gubernur Banten, buntut dugaan penamparan terhadap seorang siswa berinisial LP (17) yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Banyak netizen menilai tindakan Dini Fitria merupakan bentuk ketegasan dan upaya mendisiplinkan siswa yang melanggar aturan sekolah. Mereka berpendapat, langkah kepala sekolah itu seharusnya tidak langsung dijatuhi sanksi.
“Saya dukung Ibu. Kalau orang tuanya nggak terima, kasih saja surat pindah, biar dididik sendiri,” tulis akun @pus****** di salah satu kolom komentar media sosial.
Gelombang dukungan juga ramai terlihat di akun Instagram Gubernur Banten Andra Soni (@andrasoni12). Ratusan komentar warganet membanjiri unggahan yang membahas perintah penonaktifan kepala sekolah tersebut.
“Pak, jangan sampai Kepsek SMAN 1 Cimarga diberhentikan. Besok-besok satu sekolah bisa berani merokok di sekolah!”
“Keputusan salah bisa fatal, Pak. Nanti makin banyak murid yang berani melanggar aturan,” ujar akun @iw**.
Sebagian warganet juga mengkritik aksi mogok belajar yang dilakukan sejumlah siswa sebagai bentuk solidaritas terhadap rekannya yang menjadi korban. Mereka menilai aksi tersebut tidak tepat, karena membela tindakan yang salah.
“Mudah-mudahan suatu saat nanti, orang tua murid yang membela anaknya justru sadar bahwa perbuatannya salah,” tulis salah satu pengguna Facebook.
Kasus dugaan penamparan siswa oleh Kepala SMAN 1 Cimarga kini masih dalam proses pemeriksaan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten. Sementara itu, Dini Fitria telah dinonaktifkan sementara untuk menjaga kondusivitas di lingkungan sekolah.
Perlu Ada UU Perlindungan Guru
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Cabang Flores Timur, Maksimus Masan Kian yang dimintai pendapatnya, Kamis, 16 Oktober 2025, mengatakan, peristiwa yang menimpa Kepsek SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria menjadi ruang refleksi bagi semua pihak.
Dunia pendidikan memang sedang berada di persimpangan yang tidak mudah. Kepala sekolah dan guru dihadapkan pada tuntutan untuk menegakkan disiplin, namun pada saat yang sama harus memastikan pendekatan yang digunakan tetap manusiawi dan edukatif serta tidak melanggar hukum.
“Kita memahami bahwa setiap tindakan pendidik lahir dari niat untuk membentuk karakter, meski kadang situasi di lapangan tidak selalu ideal. Karena itu, peristiwa seperti ini seharusnya dipandang sebagai momentum pembelajaran bersama, bukan semata-mata untuk mencari siapa yang salah,” kata Maksi.

Lanjut Maksi, guru dan kepala sekolah adalah garda terdepan dalam menjaga nilai, moral, dan perilaku generasi muda. Dalam menjalankan tanggung jawab itu, mereka juga menghadapi tekanan sosial, emosional, dan kultural yang besar. Di tengah kompleksitas itu, penting bagi semua pihak untuk membangun ruang dialog dan dukungan sistemik agar upaya pembinaan tidak berujung pada persoalan hukum. Tindakan disiplin seyogianya tetap berpijak pada semangat kasih, tanggung jawab, dan perlindungan terhadap martabat manusia, baik pendidik maupun peserta didik.
Dengan semakin banyaknya kasus yang menimpa guru akhir-akhir ini, lanjut Maksi, sudah saatnya pemerintah dan legislatif duduk bersama membicarakan urgensi lahirnya Undang-Undang Perlindungan Guru. PGRI telah berulang kali mengusulkan pentingnya regulasi ini kepada pemerintah dan DPR, agar profesi guru memiliki payung hukum yang jelas dalam menjalankan tugas mendidik.
“Kita tidak ingin pendidikan menjadi ruang ketakutan bagi guru maupun siswa, melainkan ruang tumbuh bagi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebijaksanaan,” tandas Maksi. (gem)