NTT BICARA.COM, LARANTUKA – Uskup Agung Ende, Mgr. Paul Budi Kleden mengatakan fenomena buruh migran, atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Provinsi Nusa Tenggara Timur disebabkan faktor ekonomi. Perbedaan upah dan peluang kerja antara negara asal (NTT dan Indonesia) dengan negara tujuan seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Thailand dan lainnya sangat tajam.
Persoalan Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk warga NTT mencari pekerjaan di luar negeri adalah fenomena global yang kompleks dengan dampak ekonomi, sosial dan budaya yang signifikan.
Kepada NTT Bicara.Com, Uskup Budi Kleden menjelaskan karena terjadi perbedaan upah yang mencolok serta peluang kerja yang jauh berbeda, dan didorong keinginan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga dan membiyai pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak, menjadi alasan kuat, sehingga masyarakat cenderung meninggalkan Lewo Tanah untuk merantau.
Dampak buruh migran, dari sisi positifnya, kata Uskup Budi Kleden, adalah peningkatan pendapatan dan devisa negara melalui pengiriman uang (remittance).
Peningkatan taraf hidup keluarga sebagai buruh migran, juga ikut mengambil bagian dalam pembangunan di Lewotanah, bisa membiayai pendidikan anak- anak mereka.
Sementara dari sisi negatifnya, rentan terhadap eksploitasi, kekerasan dan pelanggaran hak-hak pekerja. Masalah sosial seperti perpecahan keluarga, diskriminasi dan stigmatisasi. Ada juga risiko terlibat dalam jaringan ilegal dan perdagangan manusia (human trafick). Dampak negatif lainnya seperti masalah pemukiman kumuh di daerah tujuan migrasi.
“Perpas XII kali ini kita duduk bersama membicarakan dimana peran gereja untuk turut serta mengambil bagian, bekerja sama dengan pemerintah agar setiap warga negara hendak merantau harus betul – betul punya dokumen, baik dokumen kenegaraan maupun dokumen gereja,” kata Uskup Budi Kleden.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum. Hal itu, kata Uskup Budi Kleden, penting untuk memastikan informasi yang akurat dan legal mengenai proses migrasi. Selain itu, perlu adanya pengawasan ketat terhadap agen dan perusahaan penempatan tenaga kerja.
Uskup Budi Kleden menjelaskan, perlindungan hak-hak buruh migran, termasuk upah yang layak, kondisi kerja yang aman, dan akses terhadap layanan kesehatan.
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang risiko dan tantangan yang dihadapi buruh migran. Jaringan Buruh Migran (JBM) Merupakan organisasi yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap nasib buruh migran.
Pusat Sumber Daya Buruh Migran menyediakan informasi dan sumber daya terkait buruh migran.
Migrant Care, lembaga yang fokus pada advokasi dan perlindungan buruh migran.
Menurut Uskup Budi Kleden, fenomena buruh migran adalah masalah kompleks yang memerlukan solusi holistik, melibatkan pemerintah, masyarakat dan organisasi terkait. (bam)




























