NTT BICARA.COM, KUPANG – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus merajalela. Keadaan Januari – Aril 2025, tercatat 24.036 orang pekerja korban PHK. Pada kondisi ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah ke angka 4,87% di kuartal I-2025, turun dari 5,11% tahun lalu.
Menurut Institute for Develoment of Economics and Finance (INDEF) , ini jadi alarm keras buat masa depan ekonomi nasional. Penyebabnya bukan cuma faktor global, tapi juga kegagalan dalam membenahi struktur ekonomi dalam negeri.
Pemerintah dinilai belum serius menangani tantangan seperti ketergantungan pada ekspor komoditas mentah, lemahnya hilirisasi industri, serta stagnasi investasi dan konsumsi.
INDEF menyebut ada “dual shocks” dari harga komoditas: satu sisi ada untung dari lonjakan harga batubara, tapi sisi lain rugi dari turunnya harga nikel dan CPO, yang bikin sektor hilirisasi terpukul. Ditambah lagi, belanja pemerintah malah dipangkas Rp 300 triliun saat ekonomi butuh dorongan. Dunia usaha pun makin lesu karena bunga tinggi dan kredit seret.
INDEF juga menyoroti bahwa hilirisasi cuma jadi jargon karena belum dibarengi inovasi, riset, dan integrasi pasar. Sementara sektor riil kekurangan likuiditas, dan dunia usaha menahan ekspansi karena ekonomi tak pasti. INDEF mendesak agar pemerintah segera fokus ke potensi domestik, berikan stimulus fiskal yang tepat, dan bangun ekosistem industri yang kuat agar ekonomi bisa tumbuh sehat dan berkelanjutan.
Menurut INDEF, ada delapan tanda gawat pertumbuhan ekonomi RI melambat, yakni pertama ketergantungan pada eksport komoditas mentah tanpa lompatan industrialisasi menjadikan INdonesia rentan terhadap dinamika eksternal. Saat ini ketidakpastian global semakin meningkat dengan adanya tarif impor dari Presiden AS, Donald Trump.
Pemerintah terlihat tidak cukup agresif dalam merespon tren perlambatan ekonomi global dengan strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing manufaktur berbasis teknologi tinggi.
Kedua volatilitas harga komoditas menciptakan risiko ekonomi domestik “dual shocks” bagi Indonesia. Yakni satu sisi, positive revenue shock dari lonjakan harga batubara dan minyak mentah yang berpotensi menambah penerimaan devisa dan royalti, namun sifatnya temporer dan tidak inklusif.
Sisi lain, negative margin shock dari anjloknya harga nikel dan CPO yang berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di daerah berbasis tambang dan perkebunan.
Ketiga, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2025 sebesar 4,87% merupakan ancaman stagnasi ekonomi. Indek menilai, pelemahan ini bukan sekadar akibat global, tapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural. Ketidakefisienan belanja fiskal, minimnya dorongan produktivitas sektoral, dan stagnansi investasi swasta masih ‘wait and see’.
Keempat, investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah memperlihatkan bahwa daya dorong utama pertumbuhan lumpuh.
Kelima, pemerintah terlihat masih belum berhasil mendorong sektor-sektor penting untuk hilirisasi, seperti manufaktur dan pertambangan yang menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan nilai tambah besar dan berkelanjutan.
Keenam, suku bunga kebijakan (BI Rate), suku bunga SRBI, dan yield SBN naik mendorong migrasi likuiditas perekonomian mengarah pada aset-aset berimbal hasil tinggi.
Ketujuh, semakin lemahnya dukungan sektor keuangan bagi peningkatan aktivitas sektor riil yang ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini tercermin dari laju kredit Maret 2025 menurun ke 8,7%, sebelumnya di Februari tumbuh 9,7%. Padahal, pada Maret 2025 ada momentum Ramadan dan Lebaran.
Kedelapan , pemerintah belum memiliki kebijakan optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal tepat sasaran, dan dukungan ekosistem industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.(*/gem)
































