Oleh: Piter Djami Rebo, Akademi Teknik Kupang
SEMANGAT pemberantasan korupsi dalam penyelenggaraan pembangunan patut diapresiasi. Masyarakat pun mendambakan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Namun di sisi lain, penegakan hukum tidak boleh mengabaikan mekanisme pengawasan internal dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Tanpa keseimbangan ini, penegakan hukum justru dapat menimbulkan ketakutan birokrasi, menghambat inovasi, bahkan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
Dalam sistem hukum kita, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memiliki mandat untuk melakukan klarifikasi awal terhadap setiap pengaduan masyarakat dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa, termasuk di sektor jasa konstruksi.
Langkah ini bukan untuk melindungi pelaku pelanggaran, tetapi untuk memastikan bahwa setiap dugaan penyimpangan benar-benar diuji secara teknis dan administratif sebelum diproses lebih jauh oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
Sayangnya, dalam praktik di beberapa daerah, mekanisme koordinasi ini sering diabaikan. Banyak kasus yang langsung ditangani oleh APH tanpa terlebih dahulu meminta hasil kajian APIP. Fenomena ini menunjukkan adanya ego sektoral dalam penegakan hukum—di mana semangat menindak kadang lebih kuat daripada semangat memperbaiki sistem. Padahal, pengawasan internal yang kuat justru akan membantu APH bekerja lebih efektif, karena kasus yang diteruskan sudah terverifikasi dan berbasis data teknis yang objektif. Dalam konteks ini, perlu disadari bahwa pembangunan infrastruktur bukan hanya kegiatan fisik, tetapi juga manifestasi pelayanan publik.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi telah menegaskan asas kejujuran, keadilan, kemanfaatan, keterbukaan, dan keseimbangan. Artinya, setiap langkah hukum dan pengawasan seharusnya berorientasi pada kemanfaatan masyarakat, bukan sekadar mencari kesalahan individu.
APH dan APIP sejatinya memiliki misi yang sama: menjaga uang negara dan menegakkan integritas sistem pemerintahan. Karena itu, keduanya perlu bersinergi, bukan saling mendahului. APIP tidak boleh lamban, APH tidak boleh tergesa-gesa. Keduanya harus berjalan beriringan agar upaya pemberantasan korupsi tidak kehilangan arah moral dan hukum.
Lebih jauh, pencerahan kepada masyarakat juga penting agar publik memahami bahwa tidak semua keterlambatan atau kekurangan dalam proyek berarti tindak pidana. Ada persoalan teknis, administratif, dan manajerial yang perlu dibedakan dari unsur kesengajaan merugikan negara.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan bijak, adil, dan proporsional—dengan tetap menjaga keseimbangan antara hukum yang tegas dan pemerintahan yang berfungsi. Sinergi APH dan APIP bukan hanya amanat regulasi, melainkan juga cermin kedewasaan bangsa dalam menegakkan keadilan dan membangun peradaban hukum yang bermartabat. (*)
Opini adalah ide, gagasan, kritik, saran dan pendapat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis






























