Oleh : Teovilus Ondo
Mahasiswa Institut Filsafat Teknologi dan Kreatif (IFTK) Ledalero
DALAM beberapa bulan terakhir, dunia maya dihadirkan dengan sebuah istilah baru atau yang sering disebut dengan viral terbaru: aura farming. Fenomena ini muncul setelah video seorang anak yang sedang mengikuti ajang tradisi perlombaan Pacu Jalur yang dilaksanakan di Riau menjadi viral. Dalam video yang diunggah oleh netizen, seorang anak berdiri tenang dilihat dari ekspresinya dan tanpa ada rasa takut dari raut mukanya. Dan,justru dari ketenangan itulah karismanya terpancar. Sejak saat itu, aura farmin menjadi istilah yang popular dikalangan Gen Z dan Alpha untuk menggambarkan momen ketika seseorang memancarkan daya tarik tanpa bekerja keras atau berusaha keras.
Istilah aura farming berasal dari dua kata: aura yang merujuk pada pesona atau energi personal yang terpancar secara alami, dan farming yang berarti menanam atau mengembankan. Dalam konteks digital, aura farming mengacu pada upaya menampilkan karisma diri lewat gaya, ekspresi dan suasana visual yang tampak santai namun menarik.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya digital menjadi panggung kebenaran bahwa manusia dapat berekspresi melaluinya. Melalui aura farming, generasi muda menemukan cara baru untuk menampilkan karisma atau bakat secara sederhana tanpa sesuatu menggugah namun menarik. Tubuhnya yang tegap, ekspresi tenang, dan konteks visual yang unik, semuanya menjadi elemen estetika yang mendefinisikan gaya baru di media sosial.
Latar video sering kali memanfaatkan elemen unik, seperti suasana pedesaan, tradisi lokal, atau kegiatan sehari-hari yang otentik. Musik latar pun berperan penting, karena mendukung vibe yang memenangkan dan estetika. Maka dari itu, tak jarang, video dengan durasi beberapa detik mampu menarik jutaan penonton yang bukan hanya disukai oleh orang-orang Indonesia tetapi juga orang-orang dari negara negara lain. Video ini juga menjadikan seseorang “ikon viral” hanya karena caranya berdiri, berjalan, goyangannya, atau menatap tanpa ekspresi.
Namun di balik daya tariknya, aura farming bukan sekadar gaya digital. Ia mencerminkan kebutuhan manusia untuk menjadi orang yang popular dan diakui atau dikagumi, terutama di era media sosial yang serba instant. Dalam dunia sekarang di mana perhatian menjadi mata uang utama, kemampuan “memancarkan aura” menjadi bentuk baru dari karisma digital. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah bahwa bagaimana aura farming ini sebenarnya menangkap esensi kharisma seseorang, dan apa dampaknya terhadap budaya serta dinamika media sosial?
Dampak positif
Fenomena aura farming membawa sejumlah dampak positif, terutama dalam bidang budaya dan kreativitas digital. Pertama, tren ini mampu menyebarkan budaya lokal dan khalayak yang lebih luas. Misalnya, tradisi pacu jalur yang sebelumnya dikenal di tingkat daerah, kini viral dan diapresiasi oleh masyarakat nasional bahkan internasional. Kedua, aura farming mendorong kreativitas digital. Para creator bebas bereksperimen dengan gaya, sinematografi, dan ekspresi diri yang unik. Ketiga, tren ini membuka peluang ekonomi kreatif, seperti pembuatan merchant dise, konten edukatif tentang budaya, hingga kolaborasi dengan berbagai merek. Terakhir aura farming membantu pengembangan personal, individu dapat menunjukkan sisi karismatik mereka tanpa tanpa harus menjadi selebritas besar.
Dampak negatif
Namun, aura farming juga memiliki sisi gelapnya. Dalam ruang lingkup budaya, makna tradisi bisa berubah menjadi sekedar tontonan visual tanpa mengetahui atau memahami nilai aslinya. Misalnya ritual atau lomba tradisional diubah hanya demi keindahan visual dan kehilangan konteks spiritual atau sosilnya. Dari itu juga, tren ini kerap kali menekankan penampilan superficial, tetapi berfokus pada vibe dan estetika, bukan substansi atau makna. Akibatnya generasi muda bisa terjebak dalam tekanan sosial untuk selalu tampil “karismatik” di dunia maya, padahal tidak semua hal perlu diubah menjadi konten. Resiko lainnya adalah over-konsumsi budaya digital, di mana seorang lebih sibuk meniru gaya viral daripada memahami konteks budaya atau nilai personal di baliknya.
Bagi saya, aura farming tidak sepenuhnya memiliki konotasi negatif. Ini bisa menjadi penghubung antara nilai-nilai tradisional dan kemodernan, metode baru untuk menghadirkan kekayaan budaya lokal ke kanca global. Namun, menjunjung tinggi keseimbangan adalah hal yang vital. Tren digital ini sebaliknya tidak hanya berfokus pada keinginan untuk viral, tetapi juga untuk menghormati konteks budaya yang melatarbelakanginya. Karisma sejati lahir bukan dari pencitraan semata, melainkan dari keikhlasan, pengakuan, serta kesadaran akar budaya. Dengan demikian, aura farming akan lebih bernilai jika dimanfaatkan sebagai alat untuk memperdalam identitas, bukan sekedar untuk memamerkan citra diri di platform media sosial.
Fenomena aura farming menangkap daya tarik, manusia di dunia digital dengan cara yang khas seperti memandukan ketenangan, estetika, dan ekspresi individual. Meskipun tren ini memiliki keuntungan dalam pelestarian budaya serta kreativitas digital, namun juga memunculkan tantangan berupa hilangnya esensi tradisi dan tekanan sosial untuk terus terlihat menarik. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memanfaatkan tren digital dengan bijaksana: menikmati viralitas tanpa mengorbankan nilai-nilai, dengan menghargai budaya tanpa menjadikannya konten semata. Sebuah penutup yang perlu diingat: “Di zaman viral ini, menangkap daya tarik melalui aura farming bukan hanya tentang gaya, tetapi juga mengenai bagaimana kita menghormati diri dan warisan budaya kita.”(*)
Opini adalah ide, gagasan, kritik, saran dan pendapat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis






























