NTT BICARA.COM, JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan bahwa konstitusi Indonesia membuka ruang bagi kepala daerah untuk tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pernyataan ini merespons wacana yang kembali mencuat mengenai perubahan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Saya hanya bicara aturan saja. Kalau kita lihat Pasal 18B ayat 4 UUD 1945, itu kuncinya. Disebutkan bahwa gubernur, wakil gubernur, wali kota, wakil wali kota, bupati, wakil bupati, dipilih secara demokratis. Kata ‘demokratis’ itu tidak secara eksplisit berarti harus langsung,” ujar Tito kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 29 Juli 2025.
Menurut Tito, sistem demokratis tidak identik dengan pemilihan langsung. Ia menilai pemilihan melalui DPRD juga bisa dianggap sah selama tetap mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi.
Ketika ditanya soal pandangan Presiden Prabowo Subianto terkait usulan ini, Tito tidak memberikan jawaban tegas. Namun, ia menyampaikan bahwa Presiden Prabowo memiliki perhatian terhadap biaya politik yang tinggi dan potensi konflik dalam pilkada langsung.
“Pak Presiden melihat biaya yang mahal, potensi konflik tinggi. Kandidat habiskan dana miliaran, lalu ada PSU (Pemungutan Suara Ulang) berkali-kali. Sementara hasilnya belum tentu menghasilkan pemimpin berkualitas,” kata Tito.
Ia mencontohkan sejumlah daerah seperti Papua dan Kabupaten Bangka yang terpaksa melakukan PSU meski kemampuan fiskal terbatas. “Uang habis hanya untuk memilih, padahal bisa digunakan untuk kepentingan rakyat,” tambahnya.
Tito menegaskan pemerintah masih membuka ruang diskusi terkait mekanisme pilkada ke depan. “Di internal kita ada rapat. Pernah ada rapat. Kita hitung plus minusnya,” ujar mantan Kapolri ini.
Wacana pilkada melalui DPRD sempat menjadi kontroversi di masa lalu dan menuai penolakan publik. Namun, dengan pertimbangan efisiensi anggaran dan stabilitas politik, ide ini kembali mengemuka di kalangan elite pemerintahan.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizoan mengkritik tajam wacara pilkada oleh DPRD. Dia menilai wacana ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi Indonesia. Menurutnya, jika ide ini direalisasikan menjadi taktik awal dalam merusak kelembagaan demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi.
Dia menilai banyak dampak negatif apabila pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD. Dari sisi politik akan menghilangkan hak politik warga untuk memilih pemimpin daerah baik, yang lahir karena dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, akan ada determinan dari partai politik untuk menentukan kepala daerah. Partai politik di Indonesia, katanya, sejauh ini sangat sentralistik, jadi keputusan DPP yang akan diikuti oelh anggota-anggota partainya di daerah. (gem)
































